Aku bukanlah Saya, dan Saya
bukanlah Aku
Aku dan Saya memang dilahirkan
dihari, bulan dan tahun yang sama
Aku dan Saya memiliki wajah yang
serupa
Tinggal dan dibesarkan di tempat
yang sama
Tapi
Aku adalah Aku seperti halnya Saya
adalah Saya
SAYA
membentuk kain persegi empat itu sedemikian rupa hingga membentuk sebuah
kerudung sederhana. Wangi coklat segar bisa tercium dari tubuh SAYA seolah
memberikan aksen pendukung bagi kulit SAYA yang kecoklatan. SAYA sangat menjaga
hati-hati setiap tindakannya, bayang-bayang kematian dan hari pengadilan selalu
membayangi pikiran SAYA. SAYA menghela nafas, mengucapkan syukur atas datangnya
kesempatan baru menikmati pagi lagi. SAYA selalu memastikan bahwa setiap ujung
kain menutupi dengan benar setiap lekuk tubuh yang ada, seperti sebuah armor
yang melindungi para pejuang yang mengenakannya. Dengan sedikit lotion, bedak
dan lipgloss yang tidak bisa ditinggalkan oleh SAYA untuk mempercantik
penampilan, SAYA mengenakannya dengan sangat hati-hati.
AKU
mengacak-acak rambut sambil mencoba mencium aroma tubuh sendiri. Tidak ada.
Sedikit lengket tidak menjadi masalah selama bau badan belum tercium oleh diri
sendiri. AKU berjalan menuju kamar mandi, memercikkan sedikit air ke wajah lalu
duduk diatas closet, menggosok gigi dan mulai berkhayal. Ritual dipagi hari. Baju
yang AKU pakai ke kampus, adalah baju yang sama dengan yang AKU pakai tidur.
Tidak masalah. Dengan celana jeans hitam, sepatu boots butut, dan kaos hitam
serta rambut pendek yang acak-acakan berwarna merah, dengan sekejap AKU sudah
siap melakukan aktifitas apapun hari ini.
SAYA
mendengarkan seluruh kuliah dengan cermat, sesekali menulis apa yang dianggap
penting, walaupun hampir seluruh isi kelas sudah mulai menguap dan mencoba
memaksakan mata mereka untuk tetap terbuka. Sia-sia, bagi SAYA ini adalah hal
penting yang akan menentukan masa depan dan menunjukkan seberapa besar
kesungguhan seseorang dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Rasa iba SAYA mulai
muncul setiap kali melihat dosen setengah baya itu berusaha menjelaskan setiap
materi dengan semangatnya yang menggebu-gebu sementara hampir seluruh muridnya
tertidur nyenyak, bahkan tidak banyak yang hanya menjadi ‘siluman’. Ada di
absen, namun tidak ada di kelas. SAYA merasa tidak enak hati setiap kali
bertemu mata dengan dosen tua itu, SAYA bisa melihat sorot kesedihan dan rasa
sakit hati karena tidka dihargai dari mata tuanya. Tapi, bisa apa lagi?
AKU
mencoret-coret kertas materi kuliah yang dibagikan dengan berbagai gambar
absurd. AKU hanya mampu mempertahankan konsentrasi di 5 menit awal dosen tua
itu menjelaskan, setelah itu, AKU sudah melanglang buana entah kemana dalam
pikiranku. Setelah terlalu lelah dengan khayalan absurd ditambah dengan
hembusan sepoi-sepoi dari AC yang berada tepat di belakang, dengan cepat AKU
pun sudah berpindah ke alam mimpi lagi. AKU tidak terlalu peduli dengan apa
yang dosen itu katakan, toh, AKU yakin, aku akan tetap mendapatkan nilai yang
cukup setelah ini. AKU yakin...
SAYA
berjalan menuju lorong yang menjadi penghubung antar gedung itu ketika SAYA
melihat DIA tengah terduduk dipinggiran gedung sambil memijat keningnya,
memanggil SAYA. Ah, pasti penyakitnya datang lagi. SAYA segera menghampiri
dengan wajah khawatir, sambil tersenyum, SAYA menepuk pundak DIA dengan lembut.
“Ngga apa-apa?” Pertanyaan bodoh, siapapun pasti tahu itu bukan sekedar ‘tidak
apa-apa’.
AKU
hanya terdiam ketika melihat DIA diujung lorong itu, memanggil AKU sambil
melambaikan tangannya. AKU masih sibuk dengan teman-teman AKU membicarakan hal
random yang sesungguhnya hanya sebuah kebodohan menyenangkan yang tidak
penting. Bukannya tidak peduli, tapi AKU mungkin memang type orang yang hanya
akan melihat dan baru memberikan bantuan setelah AKU yakin DIA tidak sanggup
melakukannya tanpa AKU. Lagipula, AKU sudah cukup lelah mendengarkan segala
nasib buruknya.
SAYA
mengerutkan kening ketika DIA menggenggam erat tangan SAYA. SAYA ingin
mengeluarkan kata protes, namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar selain
kepasrahan. Sungguh. Ini tidak sesuai dengan apa yang selama ini menjadi keyakinan
SAYA. Tapi apa yang bisa SAYA lakukan untuk menenangkan DIA? Berbagai kata-kata
keluar dari mulut SAYA sambil meminimalisir kontak fisik yang ada, berusaha
memberikan rasa nyaman dan mengusir rasa sakit yang DIA rasakan.
AKU
menarik tangan DIA, memeluk DIA dengan penuh perasaan. Saat ini, yang AKU tahu
hanyalah AKU sangat mencintai DIA. AKU ingin menjaga DIA dengan seluruh hal
yang AKU punya. Kekuatan. Ya. Mungkin hanya kekuatan dan sedikit daya tahan
tubuh dan mental berlebih yang AKU punya. AKU bukan orang yang akan berkata
banyak, ataupun berekspresi walaupun sungguh, AKU ingin.
“Apa
yang terjadi?” tanya SAYA sambil berusaha menahan air matanya jatuh. Bodoh.
Kenapa malah menangis? DIA hanya tersenyum... memaksakan senyumnya sambil mengusap
air mata yang menetes di pipi SAYA. SAYA menatap wajah DIA dengan seksama. Luka
lebam dan lecet tampak sangat mengganggu di wajah dan tubuhnya yang nyaris
sempurna di mata SAYA bak sebuah patung Dewa Yunani. MEREKA melakukannya lagi!
“MEREKA
melakukannya kepadaku lagi,” kata DIA dengan nada mengadu sambil memaksakan
senyum tersungging di bibirnya. Huft, bahkan disaat seperti ini DIA masih bisa
tersenyum. AKU hanya terdiam. Bukan, AKU bukannya tidak peduli. AKU hanya tidak
tahu apa yang harus AKU katakan. AKU tahu MEREKA keterlaluan, mem-bully DIA
hanya karena DIA berbeda. Lalu apa? Ini masalah internal keluarga, AKU bisa
apa? “Kalau begitu pergilah jauh-jauh dari MEREKA.”
SAYA
membelalakkan mata. Kabur dari rumah? Ide gila apalagi ini? Dari sorot matanya,
SAYA bisa tahu, kali ini DIA bersungguh-sungguh. Hidup bersama kakak-kakak
tirinya, membuat DIA seperti upik abu versi laki-laki. Tapi toh, ini terlalu
gila untuk dilakukan! SAYA tahu, meningitis dan segala tekanan dari keluarga
mungkin membuat DIA nyaris gila. Tapi, bukankah ada jalan yang lebih ‘damai’
daripada itu?
“Pergilah,
AKU akan membantumu.” DIA tampak bimbang dengan usulku. “AKU cukup kuat dan
cukup bisa diandalkan kalau hanya untuk menghidupi kita berdua.” AKU mencoba
meyakinkan walaupun AKU sendiri tidak yakin. Hanya Tuhan yang tahu darimana AKU
bisa mendapatkan uang untuk hidup selama ini. AKU menatap DIA yang tengah
berfikir keras. Tubuh DIA yang tampak ringkih, berbanding terbalik dengan AKU.
DIA
akan pergi malam ini. DIA akan pergi malam ini. Kalimat itu terus berdengung di
telinga SAYA. Berbagai pertanyaan penuh kekhawatiran bermunculan. Dimana DIA
akan tinggal? Bagaimana DIA akan hidup? Apa yang bisa SAYA lakukan? Sungguh,
SAYA ingin membantu banyak, tapi apa yang bisa SAYA lakukan? Melanggar
peraturan bukan bagian dari hidup SAYA. Satu-satunya yang terfikirkan oleh SAYA
hanyalah berusaha menghubungi MEREKA dan memohon sedikit saja kelonggaran dan
belas kasihan untuk DIA.
AKU
menyeduh kopi untuk kelima kalinya hari ini. Sekalipun DIA pernah bilang AKU
bisa mati overdosis cafein, untukku itu hanyalah dongeng yang tidak akan
terjadi. Sedang apa DIA disana? Apakah DIA benar-benar akan pergi dari MEREKA?
Apakah DIA akan baik-baik saja? Kemana DIA akan pergi? Ah, sudahlah. DIA sudah
cukup umur untuk menentukan hidupnya, toh, AKU hanya berusaha melatih agar DIA
bisa lebih kuat dengan cara membiarkan DIA melakukannya sendiri. AKU akan
datang, kalau DIA mau atau tidak sanggup lagi.
DIA
benar-benar pergi. Kata perpisahan yang diucapkan tadi siang bukan hanya
gertakan semata. Bahkan MEREKA tidak tahu dan mungkin tidak terlalu peduli.
Tapi SAYA peduli! SAYA menggantungkan hampir seluruh impian dan perasaannya ke
DIA. Apa yang harus SAYA lakukan? SAYA hanya terdiam, terisak pelan... kemana
lagi SAYA harus mencari? Segala cara telah SAYA lakukan untuk mencari DIA.
Tapi, bagaikan angin, DIA menghilang begitu saja. SAYA bahkan tidak bisa
menemukan DIA di sudut kampus tempat DIA sering menghabiskan waktu luang.
Kemana DIA?
Ini
hari ketiga setelah DIA pergi, dan tidak ada yang AKU lakukan. Hey, memangnya
AKU harus apa? Berkoar-koar galau di jejaring sosial? Memasang pamflet anak
hilang di semua tiang listrik? Khawatir? Sudah sewajarnya AKU khawatir. DIA
tidak menghubungiku sama sekali. DIA tidak menghubungi AKU, berarti DIA tidak
membutuhkan AKU. Se-simple itu. Andai bisa semudah itu, otakku tidak akan
bekerja keras merangkai cara untuk bertemu dengan DIA. Tapi toh, AKU tetap
melakukan hal-hal lain seperti biasanya. Seolah tidak ada yang terjadi.
Setelah
tiga tahun bersama, SAYA benar-benar merasa terpukul. SAYA ingin menyalahkan
MEREKA yang telah membuat DIA pergi. Ya, SAYA ingin sekali melakukannya.
Memukuli MEREKA, menyiksa MEREKA dengan kata-kata terpedas yang bisa SAYA
pikirkan, seperti yang sering MEREKA lakukan ke DIA. Apa salahnya menjadi
satu-satunya anggota keluarga yang tidak memilik hubungan darah dengan MEREKA?
DIA sama sekali tidak pernah berfikiran untuk terlahir seperti itu! Tidak adil!
SAYA menatap setiap helai daun yang berguguran dengan pandangan kosong.
Daun-daun
yang berguguran ini mengingatkan AKU lagi tentang DIA yang sangat menyukai
musim gugur. Menurut DIA, musim gugur adalah musim terindah yang pernah dia
lihat. Entahlah, AKU tidak tahu apa yang indah dari daun-daun yang berguguran
ini. Pasti lelah menyapunya. AKU tersenyum sendiri. DIA... AKU hampir tidak
tahu apa yang AKU rasakan saat ini. DIA telah pergi. Lalu apa? Bukankah ini
siklus yang wajar? Pertemuan-perpisahan, sama wajarnya dengan kelahiran dan
kematian.
SAYA
tidak tahan lagi. Rasa khawatir bercampur rindu bergejolak di dalam hati SAYA.
SAYA menatap bayangin pada cermin di depannya. Sesosok wanita bermata sembab.
Wanita yang selalu berusaha peduli, mentaati peraturan dan serba takut. SAYA.
SAYA ingin, sedikit saja, bisa lebih berani... tapi...
AKU
menatap kedalam cermin. Sosok itu masih sama. AKU yang selalu serba tidak
peduli, bandel dan berani menentang apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran
AKU. Bagi AKU, AKU adalah pusat bagi apapun yang ada di kehidupan AKU. AKU adalah
pemeran utamanya. Tapi kadang, AKU tahu... menyakitkan rasanya ketika AKU tidak
bisa mengungkapkan kata hatinya.... andai saja...
Tidak,
SAYA bukanlah AKU. SAYA tahu itu! AKU hanyalah bayangan masa lalu dan sisi
terburuk dari SAYA. SAYA tidak akan pernah menjadi AKU. Walaupun SAYA tahu, AKU
bisa membautnya lebih berani sedikit saja menentang...
AKU
bukan SAYA. AKU memang ingin menjadi lebih peduli dengan orang-orang disekitar
dan lebih bisa berekspresi. Tapi AKU tidak ingin menjadi SAYA. SAYA hanyalah pribadi
terlemah yang pernah AKU bayangkan. Tidak... tidak akan pernah!
Lalu
siapa AKU? Siapa SAYA? Apakah AKU adalah KAMU? Atau SAYA adalah KAMU? AKU
bukanlah SAYA, SAYA bukanlah AKU. Bukan DIA dan bukan pula MEREKA. Lalu siapa?
-Sebuah pertanyaan yang selalu sulit untuk
dijawab – termasuk bagi aku, saya, dia, mereka bahkan kamu...- Bandung, 13 Agustus 2014
No pido nada más
Que estar entre tus brazos
Y huir del todo mal
Que a todo he renunciado
Por estar junto a ti
Sabes
No dejo de pensar
Estoy enamorado
Te quiero confesar
Que soy solo un esclavo
Que no sabe vivir sin ti
Cuando llegastes tú
Te metiste en mi ser
Encediste la luz
Me llenaste de fe
Tanto tiempo busqué
Pero al fin te encontré
Tan perfecta como te imaginé
No nooo
Como aguja en un pajar
Te busqué sin cesar
Como huella en el mar
Tan difícil de hallar
Tanto tiempo busqué
Pero al fin encontré
Tan Perfecta
Como te imagine
Sabes
Te quiero confesar
Que te encuentro irresistible
No dejo de pensar
Que haría lo imposible
Por quedarme cerca de ti
Cuando llegastes tú
Te metiste en mi ser
Encendiste la luz
Me llenaste de fe
Tanto tiempo busqué
Pero al fin te encontré
Tan perfecta
Como te imaginé
No Nooo
Como aguja en un pajar
Te busqué sin cesar
Como huella en el mar
Tan difícil de hallar
Tanto tiempo busqué
Pero al fin te encontré
Tan perfecta
Como te imaginé
Sabes
No pido nada mas
Que estar entre tus brazos