Saturday, 17 October 2015

AKU DAN SAYA

Aku bukanlah Saya, dan Saya bukanlah Aku
Aku dan Saya memang dilahirkan dihari, bulan dan tahun yang sama
Aku dan Saya memiliki wajah yang serupa
Tinggal dan dibesarkan di tempat yang sama
Tapi
Aku adalah Aku seperti halnya Saya adalah Saya

 

SAYA membentuk kain persegi empat itu sedemikian rupa hingga membentuk sebuah kerudung sederhana. Wangi coklat segar bisa tercium dari tubuh SAYA seolah memberikan aksen pendukung bagi kulit SAYA yang kecoklatan. SAYA sangat menjaga hati-hati setiap tindakannya, bayang-bayang kematian dan hari pengadilan selalu membayangi pikiran SAYA. SAYA menghela nafas, mengucapkan syukur atas datangnya kesempatan baru menikmati pagi lagi. SAYA selalu memastikan bahwa setiap ujung kain menutupi dengan benar setiap lekuk tubuh yang ada, seperti sebuah armor yang melindungi para pejuang yang mengenakannya. Dengan sedikit lotion, bedak dan lipgloss yang tidak bisa ditinggalkan oleh SAYA untuk mempercantik penampilan, SAYA mengenakannya dengan sangat hati-hati.

AKU mengacak-acak rambut sambil mencoba mencium aroma tubuh sendiri. Tidak ada. Sedikit lengket tidak menjadi masalah selama bau badan belum tercium oleh diri sendiri. AKU berjalan menuju kamar mandi, memercikkan sedikit air ke wajah lalu duduk diatas closet, menggosok gigi dan mulai berkhayal. Ritual dipagi hari. Baju yang AKU pakai ke kampus, adalah baju yang sama dengan yang AKU pakai tidur. Tidak masalah. Dengan celana jeans hitam, sepatu boots butut, dan kaos hitam serta rambut pendek yang acak-acakan berwarna merah, dengan sekejap AKU sudah siap melakukan aktifitas apapun hari ini.

SAYA mendengarkan seluruh kuliah dengan cermat, sesekali menulis apa yang dianggap penting, walaupun hampir seluruh isi kelas sudah mulai menguap dan mencoba memaksakan mata mereka untuk tetap terbuka. Sia-sia, bagi SAYA ini adalah hal penting yang akan menentukan masa depan dan menunjukkan seberapa besar kesungguhan seseorang dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Rasa iba SAYA mulai muncul setiap kali melihat dosen setengah baya itu berusaha menjelaskan setiap materi dengan semangatnya yang menggebu-gebu sementara hampir seluruh muridnya tertidur nyenyak, bahkan tidak banyak yang hanya menjadi ‘siluman’. Ada di absen, namun tidak ada di kelas. SAYA merasa tidak enak hati setiap kali bertemu mata dengan dosen tua itu, SAYA bisa melihat sorot kesedihan dan rasa sakit hati karena tidka dihargai dari mata tuanya. Tapi, bisa apa lagi?

AKU mencoret-coret kertas materi kuliah yang dibagikan dengan berbagai gambar absurd. AKU hanya mampu mempertahankan konsentrasi di 5 menit awal dosen tua itu menjelaskan, setelah itu, AKU sudah melanglang buana entah kemana dalam pikiranku. Setelah terlalu lelah dengan khayalan absurd ditambah dengan hembusan sepoi-sepoi dari AC yang berada tepat di belakang, dengan cepat AKU pun sudah berpindah ke alam mimpi lagi. AKU tidak terlalu peduli dengan apa yang dosen itu katakan, toh, AKU yakin, aku akan tetap mendapatkan nilai yang cukup setelah ini. AKU yakin...

SAYA berjalan menuju lorong yang menjadi penghubung antar gedung itu ketika SAYA melihat DIA tengah terduduk dipinggiran gedung sambil memijat keningnya, memanggil SAYA. Ah, pasti penyakitnya datang lagi. SAYA segera menghampiri dengan wajah khawatir, sambil tersenyum, SAYA menepuk pundak DIA dengan lembut. “Ngga apa-apa?” Pertanyaan bodoh, siapapun pasti tahu itu bukan sekedar ‘tidak apa-apa’.

AKU hanya terdiam ketika melihat DIA diujung lorong itu, memanggil AKU sambil melambaikan tangannya. AKU masih sibuk dengan teman-teman AKU membicarakan hal random yang sesungguhnya hanya sebuah kebodohan menyenangkan yang tidak penting. Bukannya tidak peduli, tapi AKU mungkin memang type orang yang hanya akan melihat dan baru memberikan bantuan setelah AKU yakin DIA tidak sanggup melakukannya tanpa AKU. Lagipula, AKU sudah cukup lelah mendengarkan segala nasib buruknya.

SAYA mengerutkan kening ketika DIA menggenggam erat tangan SAYA. SAYA ingin mengeluarkan kata protes, namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar selain kepasrahan. Sungguh. Ini tidak sesuai dengan apa yang selama ini menjadi keyakinan SAYA. Tapi apa yang bisa SAYA lakukan untuk menenangkan DIA? Berbagai kata-kata keluar dari mulut SAYA sambil meminimalisir kontak fisik yang ada, berusaha memberikan rasa nyaman dan mengusir rasa sakit yang DIA rasakan.

AKU menarik tangan DIA, memeluk DIA dengan penuh perasaan. Saat ini, yang AKU tahu hanyalah AKU sangat mencintai DIA. AKU ingin menjaga DIA dengan seluruh hal yang AKU punya. Kekuatan. Ya. Mungkin hanya kekuatan dan sedikit daya tahan tubuh dan mental berlebih yang AKU punya. AKU bukan orang yang akan berkata banyak, ataupun berekspresi walaupun sungguh, AKU ingin.

“Apa yang terjadi?” tanya SAYA sambil berusaha menahan air matanya jatuh. Bodoh. Kenapa malah menangis? DIA hanya tersenyum... memaksakan senyumnya sambil mengusap air mata yang menetes di pipi SAYA. SAYA menatap wajah DIA dengan seksama. Luka lebam dan lecet tampak sangat mengganggu di wajah dan tubuhnya yang nyaris sempurna di mata SAYA bak sebuah patung Dewa Yunani. MEREKA melakukannya lagi!

“MEREKA melakukannya kepadaku lagi,” kata DIA dengan nada mengadu sambil memaksakan senyum tersungging di bibirnya. Huft, bahkan disaat seperti ini DIA masih bisa tersenyum. AKU hanya terdiam. Bukan, AKU bukannya tidak peduli. AKU hanya tidak tahu apa yang harus AKU katakan. AKU tahu MEREKA keterlaluan, mem-bully DIA hanya karena DIA berbeda. Lalu apa? Ini masalah internal keluarga, AKU bisa apa? “Kalau begitu pergilah jauh-jauh dari MEREKA.”

SAYA membelalakkan mata. Kabur dari rumah? Ide gila apalagi ini? Dari sorot matanya, SAYA bisa tahu, kali ini DIA bersungguh-sungguh. Hidup bersama kakak-kakak tirinya, membuat DIA seperti upik abu versi laki-laki. Tapi toh, ini terlalu gila untuk dilakukan! SAYA tahu, meningitis dan segala tekanan dari keluarga mungkin membuat DIA nyaris gila. Tapi, bukankah ada jalan yang lebih ‘damai’ daripada itu?

“Pergilah, AKU akan membantumu.” DIA tampak bimbang dengan usulku. “AKU cukup kuat dan cukup bisa diandalkan kalau hanya untuk menghidupi kita berdua.” AKU mencoba meyakinkan walaupun AKU sendiri tidak yakin. Hanya Tuhan yang tahu darimana AKU bisa mendapatkan uang untuk hidup selama ini. AKU menatap DIA yang tengah berfikir keras. Tubuh DIA yang tampak ringkih, berbanding terbalik dengan AKU.

DIA akan pergi malam ini. DIA akan pergi malam ini. Kalimat itu terus berdengung di telinga SAYA. Berbagai pertanyaan penuh kekhawatiran bermunculan. Dimana DIA akan tinggal? Bagaimana DIA akan hidup? Apa yang bisa SAYA lakukan? Sungguh, SAYA ingin membantu banyak, tapi apa yang bisa SAYA lakukan? Melanggar peraturan bukan bagian dari hidup SAYA. Satu-satunya yang terfikirkan oleh SAYA hanyalah berusaha menghubungi MEREKA dan memohon sedikit saja kelonggaran dan belas kasihan untuk DIA.

AKU menyeduh kopi untuk kelima kalinya hari ini. Sekalipun DIA pernah bilang AKU bisa mati overdosis cafein, untukku itu hanyalah dongeng yang tidak akan terjadi. Sedang apa DIA disana? Apakah DIA benar-benar akan pergi dari MEREKA? Apakah DIA akan baik-baik saja? Kemana DIA akan pergi? Ah, sudahlah. DIA sudah cukup umur untuk menentukan hidupnya, toh, AKU hanya berusaha melatih agar DIA bisa lebih kuat dengan cara membiarkan DIA melakukannya sendiri. AKU akan datang, kalau DIA mau atau tidak sanggup lagi.

DIA benar-benar pergi. Kata perpisahan yang diucapkan tadi siang bukan hanya gertakan semata. Bahkan MEREKA tidak tahu dan mungkin tidak terlalu peduli. Tapi SAYA peduli! SAYA menggantungkan hampir seluruh impian dan perasaannya ke DIA. Apa yang harus SAYA lakukan? SAYA hanya terdiam, terisak pelan... kemana lagi SAYA harus mencari? Segala cara telah SAYA lakukan untuk mencari DIA. Tapi, bagaikan angin, DIA menghilang begitu saja. SAYA bahkan tidak bisa menemukan DIA di sudut kampus tempat DIA sering menghabiskan waktu luang. Kemana DIA?

Ini hari ketiga setelah DIA pergi, dan tidak ada yang AKU lakukan. Hey, memangnya AKU harus apa? Berkoar-koar galau di jejaring sosial? Memasang pamflet anak hilang di semua tiang listrik? Khawatir? Sudah sewajarnya AKU khawatir. DIA tidak menghubungiku sama sekali. DIA tidak menghubungi AKU, berarti DIA tidak membutuhkan AKU. Se-simple itu. Andai bisa semudah itu, otakku tidak akan bekerja keras merangkai cara untuk bertemu dengan DIA. Tapi toh, AKU tetap melakukan hal-hal lain seperti biasanya. Seolah tidak ada yang terjadi.

Setelah tiga tahun bersama, SAYA benar-benar merasa terpukul. SAYA ingin menyalahkan MEREKA yang telah membuat DIA pergi. Ya, SAYA ingin sekali melakukannya. Memukuli MEREKA, menyiksa MEREKA dengan kata-kata terpedas yang bisa SAYA pikirkan, seperti yang sering MEREKA lakukan ke DIA. Apa salahnya menjadi satu-satunya anggota keluarga yang tidak memilik hubungan darah dengan MEREKA? DIA sama sekali tidak pernah berfikiran untuk terlahir seperti itu! Tidak adil! SAYA menatap setiap helai daun yang berguguran dengan pandangan kosong.

Daun-daun yang berguguran ini mengingatkan AKU lagi tentang DIA yang sangat menyukai musim gugur. Menurut DIA, musim gugur adalah musim terindah yang pernah dia lihat. Entahlah, AKU tidak tahu apa yang indah dari daun-daun yang berguguran ini. Pasti lelah menyapunya. AKU tersenyum sendiri. DIA... AKU hampir tidak tahu apa yang AKU rasakan saat ini. DIA telah pergi. Lalu apa? Bukankah ini siklus yang wajar? Pertemuan-perpisahan, sama wajarnya dengan kelahiran dan kematian.

SAYA tidak tahan lagi. Rasa khawatir bercampur rindu bergejolak di dalam hati SAYA. SAYA menatap bayangin pada cermin di depannya. Sesosok wanita bermata sembab. Wanita yang selalu berusaha peduli, mentaati peraturan dan serba takut. SAYA. SAYA ingin, sedikit saja, bisa lebih berani... tapi...

AKU menatap kedalam cermin. Sosok itu masih sama. AKU yang selalu serba tidak peduli, bandel dan berani menentang apapun yang tidak sesuai dengan pemikiran AKU. Bagi AKU, AKU adalah pusat bagi apapun yang ada di kehidupan AKU. AKU adalah pemeran utamanya. Tapi kadang, AKU tahu... menyakitkan rasanya ketika AKU tidak bisa mengungkapkan kata hatinya.... andai saja...

Tidak, SAYA bukanlah AKU. SAYA tahu itu! AKU hanyalah bayangan masa lalu dan sisi terburuk dari SAYA. SAYA tidak akan pernah menjadi AKU. Walaupun SAYA tahu, AKU bisa membautnya lebih berani sedikit saja menentang...

AKU bukan SAYA. AKU memang ingin menjadi lebih peduli dengan orang-orang disekitar dan lebih bisa berekspresi. Tapi AKU tidak ingin menjadi SAYA. SAYA hanyalah pribadi terlemah yang pernah AKU bayangkan. Tidak... tidak akan pernah!

Lalu siapa AKU? Siapa SAYA? Apakah AKU adalah KAMU? Atau SAYA adalah KAMU? AKU bukanlah SAYA, SAYA bukanlah AKU. Bukan DIA dan bukan pula MEREKA. Lalu siapa?

-Sebuah pertanyaan yang selalu sulit untuk dijawab – termasuk bagi aku, saya, dia, mereka bahkan kamu...- Bandung, 13 Agustus 2014

0 comments:

Post a Comment