The rain doesn’t stop... You were looking down
Aku
hampir melangkahkan kaki keluar dari lindungan gedung sekolahku yang
menjulang tinggi ketika satu demi satu tetesan itu jatuh membasahi tanah
didepanku. Hujan lagi. Yah, hal yang wajar sih di bulan-bulan ini, tapi
tetap saja terlalu banyak air membuat tubuhku merasa tidak enak. Segera
aku meraih payung hitam yang selalu setia tersimpan didalam tasku,
ketika seorang gadis manis berambut panjang tampak menghela nafas
menatap langit dengan pandangan mengiba. Sepertinya ia tidak paham
dengan paribahasa, sedia payung sebelum hujan.
To make that shoulder not wet, I inclined my umbrella over you
Ia
mendongak menatapku, menyadari keberadaan tubuhku yang sudah sangat
dekat dengannya, lalu menadang tanganku yang terangkat menggenggam
gagang payung yang terangkat diatasnya. "Ah, sankyuu Aya-kun..." katanya
sambil tersenyum manis. Aku hanya bisa memalingkan pandangan, mencoba
menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah, melangkahkan kaki mencoba
sejajar dengan langkah mungilnya sambil berusaha menjaga agar payungku
melindungi tubuhnya dengan maksimal dari terpaan hujan.
You looked up on me and laid on me a little
Sepertinya
aku terlalu memaksakan diri, menjejalkan tubuhku yang tidak lagi mungil
dan tubuhnya dibawah satu rengkuhan payung yang menemaniku dari sekolah
dasar ini. Satu sisi tubuhku harus mengalah, diterpa guyuran sang
hujan. Yah, aku sudah menimbun persediaan salap gatal-gatal untuk
menghadapi musim hujan kali ini. Sepertinya, Aya-chan menyadarinya,
langkahnya terhenti sejenak dan menatapku.
With that smile, you held my hand, I was a little trembling
"Ne,
Aya-kun, mungkin sebaiknya kita berjalan berdekatan. Lebih dekat
lagi..." katanya menyebutkan nama panggilanku yang kebetulan sama dengan
namanya sambil menarik tubuhku menempel dengan sisi tubuhnya membuatku
lebih terlindung dari guyuran hujan, menggenggam tanganku dan membuatku
sedikit gemetar grogi. Ayolah, Rayaka, macam mana pula kau bisa tremor
hanya karena digandeng oleh Ayaka, temanmu dari kecil? Yah, walaupun
hatiku berusaha menyanggah, namun tetap saja...
Today I feel that I want to tell you this feeling
Teman
dari kecil? Andai saja hanya sekedar teman dari kecil, mungkin aku
tidak akan se grogi ini. Sejak hari kepindahannya kesini, hari dimana
aku pertama kali melihatnya, bayang-bayang wajahnya yang bulat, putih
bersih dengan rambut panjangnya yang hitam dan binar-binar matanya yang
memancarkan kebandelan selalu memenuhi isi kepalaku membuatku nyaris
gila. Aku berusaha keras... berusaha menjadi sosok pria nyaris sempurna
yang pantas bersanding dengannya... tapi... toh, sampai hari ini aku
masih belum bisa memaksa mulutku mengutarakannya. Mengutarakan
perasaaanku selama ini...
I amazedly love you
Aku
mencintaimu. Dua kata sederhana yang aku harap bisa menghentikan
segenap kegilaanku dan bayang-bayangnya yang merasuki hampir setiap sela
otakku. Dua kata yang sangat sederhana, namun sulit diungkapkan dan
mungkin tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku padanya.
Under the shared umbrella, I can’t tell you about my hidden feeling honestly
"Eh?
Aya-kun, kenapa? Ada yang aneh?" tanyanya polos sambil menatapku sambil
membulatkan mata. Ah, kawaii. Aku terpaksa memalingkan wajahku lagi,
menutupi wajahku yang memerah. Disaat seperti ini, ada untungnya juga
memiliki tubuh yang tinggi, aku jadi lebih mudah menyembunyikan wajahku.
Mungkin aku bisa mencoba mengutarakan perasaanku sekarang, mungkin ini
adalah waktu yang sangat strategis. Tapi... entah kenapa mulutku terasa
sulit diajak bekerja sama, kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Hnaya
dua kata, namun sangat sulit kuucapkan.
It seems the rain wouldn’t stop, but it passed in a rush
Aya-chan
lebih mendekatkan tubuhnya lagi, ketika hujan mengguyur semakin deras.
Bagian telinganya, mungkin sekarang sejajar dengan tempat jantungku
berada, mungkin ia bisa merasakan degupannya yang semakin kencang.
It was close to our rain of love
Rain
of love, eh? Mungkin itu satu-satunya yang bisa kupikirkan saat ini.
Aku merasa bodoh. Otakku dipenuhi imajinasi-imajinasi yang membuatku
merasa sangat bodoh. Timing nya pas, suasananya pas. Apalagi yang aku
tunggu? Aku tinggal mengucapkan dua kata itu...
“I almost reached my house…” You were looking down
Langkah
kami terhenti tepat didepan gerbang rumah berwarna kuning yang dipenuhi
tanaman hias di halamannya. "Aya-kun, sankyuu ne. Terima kasih sudah
menjadi ojek payungku hari ini," katanya sambil tertawa. Aku hanya bisa
tertawa kering, melepas kepergiannya dari rengkuhanku. "See you
tomorrow, Aya-kun."
I called your name, our eyes met, but I couldn’t say it
Tubuh
mungilnya kini sudah aman dari amukan langit dalam rengkuhan teras
rumahnya yang berjarak hanya dua meter dari tempatku berdiri. Hanya dua
meter... tapi pagar menjulang itu serasa membuatnya semakin jauh.
"Aya-chan..." aku memanggil namanya. Aku harus mengutarakannya sekarang.
Matanya menatapku dengan pandangan bertanya-tanya, aku tertegun
sejenak. "Nande? Eh, kenapa, Aya-kun?" tanyanya. Aku membuka mulutku,
mencoba mengatakannya.
Today I feel that I want to tell you this feeling
Hari
ini bisa jadi kesempatan terakhirku. Ini adalah tahun terakhirku
disini, mungkin satu bulan lagi aku sudah berada jauh dari sini, mencoba
meraih kehidupannku yang lainnya. Timingnya pas, waktunya tepat... aku
hanya tinggal mengucapkannya. Mengucapkan kata yang tersendat di
kerongkonganku sejak 9 tahun lalu. Hari ini, aku akan mengatakannya.
Aya-chan masih terdiam menatapku dengan pandangan penuh tanya.
I amazedly love you
Aku
mencintaimu. Sepertinya suaraku tiba-tiba tidak sinkron dengan tubuhku
yang besar, terkalahkan oleh suara rintikan hujan yang terang-terangan
menertawakanku. Kedua alisnya yang hitam saling tertaut, menandakan ia
tidak menangkap apa yang kukatakan. "Ah? Apa? Maaf, suaramu terlalu
pelan, Aya-kun... Bisakah kau ucapkan sekali lagi." Mengucapkannya lagi?
Dia bercanda? Aku setengah mati mengucapkan dua kata pertama tadi. Aku
berusaha membuka mulutku, namun kata yang keluar malah sebaliknya. "Mata
ashita, Sampai jumpa besok, Aya-chan."
It’s not a lie that I hope tomorrow will be raining
Ia
tersenyum manis, melambaikan tangannya. "Jya ne, Aya-kun. Hati-hati
dijalan," katanya sebelum aku melangkahkan kaki dua blok lagi dengan
penuh penyesalan menuju rumahku. Dengan segala perbedaan yang ada, aku
nyaris tidak mungkin mendekatinya ditengah gerombolan yang selalu
menyertainya maupun sekelompok manusia yang selalu mengelilingiku. Dunia
kami nyaris seperti berbeda. Hujan. Hanya itu yang menjadi
kesempatanku. Mungkin, akan lebih baik bila Tuhan bermurah hati
menurunkan beberapa kali karunianya sebelum aku pergi nanti sehingga aku
bisa mengutarakan perasaan yang mengganjal hatiku ini.
When the lights overflowing, the passing rain laughed at me
Rintikan
hujan mulai mereda, entah kenapa membuatku merasa tersinggung. Mereka
seperti menertawakanku. Menertawakan kegagalanku lagi. 9 tahun ini,
entah berapa ratus hujan telah kulalui, entah berapa ratus adegan
seperti tadi telah kurasakan tapi tak satupun diantaranya mengandung
dialog yang kuinginkan. Mungkin, rintikan hujan itu kini berhenti
mengguyur bumi dan saling berdecak lelah, melihat kesempatan yang mereka
berikan padaku telah kusia-siakan lagi untuk kesekian kalinya.
It distracted our rain of love
Matahari
yang bersinar cerah, bau tanah yang basah oleh hujan, embun-embun
lembut yang maasih tersisa di kulit payung hitamku... rasanya semuanya
membuatku terganggu. Mengingatkanku akan kepengecutanku dan
ketidakmampuanku mengucapkan dua kata itu. So close... Mungkin aku hanya
bisa berharap, semoga hujan akan turun lagi esok hari...
"Under the shared umbrella, I can’t tell you about my hidden feeling honestly
It seems the rain wouldn’t stop, but it passed in a rush
It was close to our rain of love - TegoMassu Ai Ai Gasa"
Screenshoot from Tegomassu - Ai Ai Gasa PV |
Bandung, 25 Februari 2014
0 comments:
Post a Comment