Sunday, 18 October 2015

The Shared Umbrella

The rain doesn’t stop... You were looking down

Aku hampir melangkahkan kaki keluar dari lindungan gedung sekolahku yang menjulang tinggi ketika satu demi satu tetesan itu jatuh membasahi tanah didepanku. Hujan lagi. Yah, hal yang wajar sih di bulan-bulan ini, tapi tetap saja terlalu banyak air membuat tubuhku merasa tidak enak. Segera aku meraih payung hitam yang selalu setia tersimpan didalam tasku, ketika seorang gadis manis berambut panjang tampak menghela nafas menatap langit dengan pandangan mengiba. Sepertinya ia tidak paham dengan paribahasa, sedia payung sebelum hujan.

To make that shoulder not wet, I inclined my umbrella over you

Ia mendongak menatapku, menyadari keberadaan tubuhku yang sudah sangat dekat dengannya, lalu menadang tanganku yang terangkat menggenggam gagang payung yang terangkat diatasnya. "Ah, sankyuu Aya-kun..." katanya sambil tersenyum manis. Aku hanya bisa memalingkan pandangan, mencoba menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah, melangkahkan kaki mencoba sejajar dengan langkah mungilnya sambil berusaha menjaga agar payungku melindungi tubuhnya dengan maksimal dari terpaan hujan.

You looked up on me and laid on me a little

Sepertinya aku terlalu memaksakan diri, menjejalkan tubuhku yang tidak lagi mungil dan tubuhnya dibawah satu rengkuhan payung yang menemaniku dari sekolah dasar ini. Satu sisi tubuhku harus mengalah, diterpa guyuran sang hujan. Yah, aku sudah menimbun persediaan salap gatal-gatal untuk menghadapi musim hujan kali ini. Sepertinya, Aya-chan menyadarinya, langkahnya terhenti sejenak dan menatapku.

With that smile, you held my hand, I was a little trembling

"Ne, Aya-kun, mungkin sebaiknya kita berjalan berdekatan. Lebih dekat lagi..." katanya menyebutkan nama panggilanku yang kebetulan sama dengan namanya sambil menarik tubuhku menempel dengan sisi tubuhnya membuatku lebih terlindung dari guyuran hujan, menggenggam tanganku dan membuatku sedikit gemetar grogi. Ayolah, Rayaka, macam mana pula kau bisa tremor hanya karena digandeng oleh Ayaka, temanmu dari kecil? Yah, walaupun hatiku berusaha menyanggah, namun tetap saja...

Today I feel that I want to tell you this feeling

Teman dari kecil? Andai saja hanya sekedar teman dari kecil, mungkin aku tidak akan se grogi ini. Sejak hari kepindahannya kesini, hari dimana aku pertama kali melihatnya, bayang-bayang wajahnya yang bulat, putih bersih dengan rambut panjangnya yang hitam dan binar-binar matanya yang memancarkan kebandelan selalu memenuhi isi kepalaku membuatku nyaris gila. Aku berusaha keras... berusaha menjadi sosok pria nyaris sempurna yang pantas bersanding dengannya... tapi... toh, sampai hari ini aku masih belum bisa memaksa mulutku mengutarakannya. Mengutarakan perasaaanku selama ini...

I amazedly love you

Aku mencintaimu. Dua kata sederhana yang aku harap bisa menghentikan segenap kegilaanku dan bayang-bayangnya yang merasuki hampir setiap sela otakku. Dua kata yang sangat sederhana, namun sulit diungkapkan dan mungkin tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku padanya.

Under the shared umbrella, I can’t tell you about my hidden feeling honestly

"Eh? Aya-kun, kenapa? Ada yang aneh?" tanyanya polos sambil menatapku sambil membulatkan mata. Ah, kawaii. Aku terpaksa memalingkan wajahku lagi, menutupi wajahku yang memerah. Disaat seperti ini, ada untungnya juga memiliki tubuh yang tinggi, aku jadi lebih mudah menyembunyikan wajahku. Mungkin aku bisa mencoba mengutarakan perasaanku sekarang, mungkin ini adalah waktu yang sangat strategis. Tapi... entah kenapa mulutku terasa sulit diajak bekerja sama, kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Hnaya dua kata, namun sangat sulit kuucapkan.

It seems the rain wouldn’t stop, but it passed in a rush

Aya-chan lebih mendekatkan tubuhnya lagi, ketika hujan mengguyur semakin deras. Bagian telinganya, mungkin sekarang sejajar dengan tempat jantungku berada, mungkin ia bisa merasakan degupannya yang semakin kencang.

It was close to our rain of love

Rain of love, eh? Mungkin itu satu-satunya yang bisa kupikirkan saat ini. Aku merasa bodoh. Otakku dipenuhi imajinasi-imajinasi  yang membuatku merasa sangat bodoh. Timing nya pas, suasananya pas. Apalagi yang aku tunggu? Aku tinggal mengucapkan dua kata itu...

“I almost reached my house…” You were looking down

Langkah kami terhenti tepat didepan gerbang rumah berwarna kuning yang dipenuhi tanaman hias di halamannya. "Aya-kun, sankyuu ne. Terima kasih sudah menjadi ojek payungku hari ini," katanya sambil tertawa. Aku hanya bisa tertawa kering, melepas kepergiannya dari rengkuhanku. "See you tomorrow, Aya-kun."

I called your name, our eyes met, but I couldn’t say it

Tubuh mungilnya kini sudah aman dari amukan langit dalam rengkuhan teras rumahnya yang berjarak hanya dua meter dari tempatku berdiri. Hanya dua meter... tapi pagar menjulang itu serasa membuatnya semakin jauh. "Aya-chan..." aku memanggil namanya. Aku harus mengutarakannya sekarang. Matanya menatapku dengan pandangan bertanya-tanya, aku tertegun sejenak. "Nande? Eh, kenapa, Aya-kun?" tanyanya. Aku membuka mulutku, mencoba mengatakannya.

Today I feel that I want to tell you this feeling

Hari ini bisa jadi kesempatan terakhirku. Ini adalah tahun terakhirku disini, mungkin satu bulan lagi aku sudah berada jauh dari sini, mencoba meraih kehidupannku yang lainnya. Timingnya pas, waktunya tepat... aku hanya tinggal mengucapkannya. Mengucapkan kata yang tersendat di kerongkonganku sejak 9 tahun lalu. Hari ini, aku akan mengatakannya. Aya-chan masih terdiam menatapku dengan pandangan penuh tanya.

I amazedly love you

Aku mencintaimu. Sepertinya suaraku tiba-tiba tidak sinkron dengan tubuhku yang besar, terkalahkan oleh suara rintikan hujan yang terang-terangan menertawakanku. Kedua alisnya yang hitam saling tertaut, menandakan ia tidak menangkap apa yang kukatakan. "Ah? Apa? Maaf, suaramu terlalu pelan, Aya-kun... Bisakah kau ucapkan sekali lagi." Mengucapkannya lagi? Dia bercanda? Aku setengah mati mengucapkan dua kata pertama tadi. Aku berusaha membuka mulutku, namun kata yang keluar malah sebaliknya. "Mata ashita, Sampai jumpa besok, Aya-chan."

It’s not a lie that I hope tomorrow will be raining

Ia tersenyum manis, melambaikan tangannya. "Jya ne, Aya-kun. Hati-hati dijalan," katanya sebelum aku melangkahkan kaki dua blok lagi dengan penuh penyesalan menuju rumahku. Dengan segala perbedaan yang ada, aku nyaris tidak mungkin mendekatinya ditengah gerombolan yang selalu menyertainya maupun sekelompok manusia yang selalu mengelilingiku. Dunia kami nyaris seperti berbeda. Hujan. Hanya itu yang menjadi kesempatanku. Mungkin, akan lebih baik bila Tuhan bermurah hati menurunkan beberapa kali karunianya sebelum aku pergi nanti sehingga aku bisa mengutarakan perasaan yang mengganjal hatiku ini.

When the lights overflowing, the passing rain laughed at me

Rintikan hujan mulai mereda, entah kenapa membuatku merasa tersinggung. Mereka seperti menertawakanku. Menertawakan kegagalanku lagi. 9 tahun ini, entah berapa ratus hujan telah kulalui, entah berapa ratus adegan seperti tadi telah kurasakan tapi tak satupun diantaranya mengandung dialog yang kuinginkan. Mungkin, rintikan hujan itu kini berhenti mengguyur bumi dan saling berdecak lelah, melihat kesempatan yang mereka berikan padaku telah kusia-siakan lagi untuk kesekian kalinya.

It distracted our rain of love

Matahari yang bersinar cerah, bau tanah yang basah oleh hujan, embun-embun lembut yang maasih tersisa di kulit payung hitamku... rasanya semuanya membuatku terganggu. Mengingatkanku akan kepengecutanku dan ketidakmampuanku mengucapkan dua kata itu. So close... Mungkin aku hanya bisa berharap, semoga hujan akan turun lagi esok hari...

"Under the shared umbrella, I can’t tell you about my hidden feeling honestly
It seems the rain wouldn’t stop, but it passed in a rush
It was close to our rain of love - TegoMassu Ai Ai Gasa"

Screenshoot from Tegomassu - Ai Ai Gasa PV


Bandung, 25 Februari 2014

0 comments:

Post a Comment